![]() |
Kekerasan di sekolah semakin hari kian meresahkan. Belum lama ini, tersebar video perundungan siswi SMP di Cilacap. Duduk permasalahannya sebenarnya sepele, yakni hanya karena korban mengaku bagian dari geng pelaku tetapi pelaku tidak terima karena si korban bukan bagian dari geng tersebut. Akhirnya korban dianiaya hingga terluka.
Kasus serupa juga terjadi di
Pondok Pesantren Gontor. Bahkan pada kasus ini, korban harus meregang nyawa
setelah dikeroyok oleh dua seniornya. Pemicu masalahnya juga sepele, yaitu
karena korban diminta bertanggung jawab atas hilangnya barang inventaris.
Dari dua kasus tersebut, kasus
kekerasan di sekolah terjadi karena perundungan siswa terhadap siswa lain.
Namun, apakah perundungan hanya bisa terjadi di antara para siswa? Tentu saja
tidak.
Seorang guru di SMK Bina Karya
Larantuka di Flores Timur, NTT tega mencelupkan tangan siswanya sendiri ke air
mendidih. Bahkan, pelaku sengaja tidak memberikan pertolongan hingga siswa
tersebut menderita hingga keesokan harinya.
Belum lama ini juga ada kasus
pembakaran sekolah oleh siswa yang mengaku dirundung oleh teman-teman dan
gurunya di sekolah. Namun, para guru yang dimintai keterangan membantah isu
perundungan tersebut dan justru menyatakan bahwa pelaku memang pada dasarnya suka
mencari perhatian. Selain itu, ada juga kasus seorang penderita autoimun yang
dirundung secara verbal oleh gurunya hingga ia takut masuk sekolah dan
menyebabkan penyakin autoimunnya sering kambuh.
Berdasarkan kasus-kasus di atas,
bisa kita lihat bahwa pelaku perundungan bukan hanya siswa kan? Bahkan guru
yang seharusnya menjadi teladan bisa menjadi pelaku dibalik perundungan. Namun,
kasus yang saya bahas sejauh ini masih fokus pada siswa sebagai korban. Lantas,
apakah guru bisa menjadi korban?
Tentu saja. Baru-baru ini ada
seorang guru yang dibacok oleh siswanya saat Ujian Tengah Semesternya. Akar masalahnya
lagi-lagi sepele, yakni pelaku tidak diizinkan untuk ikut ujian karena belum
mengumpulkan tugas.
Apa Sudah Ada Cara Mengatasi Kekerasan di Sekolah?
Sudah. Menteri Pendidikan Nadiem
Makarim telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan
Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di
Satuan Pendidikan (PPKSP) Agustus 2023. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya
kekerasan di sekolah.
Ada enam jenis kekerasan yang
bisa terjadi di sekolah, yakni sebagai berikut:
1.
Kekerasan Fisik
Kekerasan jenis ini dilakukan dengan kontak fisik.
Kontak fisik bisa melibatkan alat bantu maupun tanpa alat bantu.
2.
Kekerasan Psikis
Kekerasan terhadap psikis seseorang yang dilakukan
tanpa kontak fisik. Pelaku melakukan kekerasan secara psikis dengan cara
menghina, merendahkan, menakuti, atau menciptakan perasaan tidak nyaman.
3.
Perundungan
Perundungan bisa terjadi dalam bentuk kekerasan fisik
maupun psikis terhadap korban. Tindakan perundungan dilakukan berulang dan ada
relasi kuasa. Contohnya adalah kasus perundungan siswi penderita autoimun di
atas.
4.
Kekerasan Seksual
Tindakan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau
menyerang objek seperti tubuh dan/atau fungsi reproduksi seseorang digolongkan
sebagai kekerasan seksual.
5.
Diskriminasi dan Intoleransi
Diskriminasi dan intoleransi dilakukan dengan upaya
membedakan, mengecualikan, membatasi atau pemilihan. Tindakan tersebut mengarah
pada suatu kelompok tertentu berdasarkan suku, agama, kepercayaan, ras, warna
kulit, usia, status sosial, ekonomi, jenis kelamin, kemampuan intelektual,
mental, sensorik, dan fisik.
6.
Kebijakan yang mengandung kekerasan
Kebijakan sekolah juga bisa mengandung kekerasan
berpotensi menyebabkan terjadinya tindak kekerasan, baik secara tertulis maupun
tidak tertulis, dalam bentuk surat keputusan, surat edara, nota dinas, imbauan,
instruksi, pedoman, dan lain-lain.
Apakah Permendikbudristek tersebut sudah membuahkan hasil?
Ironisnya, apa yang terjadi justru berkebalikan dari harapan. Perhimpunan
Pendidikan dan Guru (P2G) melaporkan bahwa sudah ada lima kasus kekerasan di sekolah yang terjadi dalam
satu bulan terakhir.
Hal ini menunjukkan bahwa pihak
sekolah serta segenap perangkapnya masih belum serius mengimplementasikan
peraturan tersebut. Lantas apa saja cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi
kekerasan di sekolah?
Cara Mengatasi Kekerasan di Sekolah
1.
Sosialisasikan/ajarkan tentang kekerasan di
sekolah
Kewajiban untuk melakukan sosialisasi tentang
kekerasan di sekolah bukan hanya ada pada pemerintah saja. Peran pihak sekolah
serta orang tua juga sangat diperlukan untuk mengajarkan kepada anak definisi
dari kekerasan di sekolah. Sebab jika tidak diajarkan, kerap kali anak
kesulitan membedakan antara kekerasan dengan candaan.
Contohnya, perundungan psikis seringkali menggunakan
dalih “bercanda” setiap kali menghina atau mengejek korban. Padahal, jika
kata-kata yang ditujukan pada korban itu menyinggung perasaan korban, maka hal
tersebut sudah tidak bisa disebut bercanda lagi. Sayangnya, jika anak tidak
dikenalkan dengan definisi kekerasan psikis, maka anak tersebut kemungkinan
besar tidak akan pernah melaporkan perundungan psikis yang dia alami karena
takut dicap “tukang mengadu” karena menganggap serius “candaan” teman.
2.
Kumpulkan bukti
Ajarkan anak dan kerabat kita untuk mengumpulkan bukti
jika mereka mengalami kekerasan di sekolah. Sebab, laporan tanpa bukti akan
dianggap fitnah. Hal ini justru akan berbahaya bagi korban jika pelaku
mengetahuinya. Korban bisa saja semakin ditekan supaya tidak melaporkan dan
justru menyebabkan kekerasan semakin parah dan korban semakin takut untuk
melapor.
Anda bisa mengajari anak atau kerabat Anda untuk segera
melakukan visum jika mengalami kekerasan fisik. Untuk kekerasan psikis, bukti
bisa dikumpulkan melalui rekaman suara, tangkapan layar chat, dan video.
3.
Berani membela diri
Orang tua perlu mengajarkan anak supaya berani membela
diri sendiri. Misalnya, menghindar ketika dipukul, berani menjawab ketika
diejek, bahkan kalau perlu ikut sertakan anak ke kursus bela diri. Terkadang,
perundungan bisa terus terjadi karena korban sendiri tidak berusaha melindungi
dirinya sendiri dan hanya pasrah menerima perlakuan tidak baik.
4.
Laporkan pada orang tua dan pihak berwenang
Setelah bukti terkumpul, maka korban bisa melaporkan
ke orang tua dan pihak berwenang. Hal ini sangat diperlukan agar pelaku
mendapat hukuman. Harapannya, hukuman pada pelaku bisa memberi efek jera pada
pelaku maupun calon pelaku.
5.
Mengawasi implementasi Permendikbud di sekolah
Pemerintah perlu mengawasi implementasi permendikbud secara
ketat agar kasus kekerasan di sekolah bisa ditekan. Bagaimanapun, peran sekolah
sangat penting dalam mengajarkan nilai-nilai moral kepada peserta didik maupun
tenaga pendidikan agar tidak melakukan kekerasan di sekolah.
Kesimpulan
Kekerasan di sekolah bisa
dilakukan atau terjadi pada siapa saja pihak di sekolah. Kadang guru menjadi
pelaku, kadang juga bisa menjadi korban. Oleh karena itu, upaya di atas bisa
diterapkan untuk mengatasi kekerasan di sekolah.
Mari kita kembalikan sekolah
menjadi tempat ternyaman kedua setelah rumah. Bagi orang tua, jangan lupa untuk
selalu memberi perhatian dan menjaga komunikasi dengan anak. Bagi guru dan
perangkat sekolah, mari lebih peka terhadap anak didik. Terakhir, bagi para
siswa, jangan pernah takut untuk melindungi diri sendiri. Karena nyawa manusia
tak akan pernah bisa tergantikan dengan uang atau permintaan maaf.
Posting Komentar
Posting Komentar