Dampak Tiger Parenting pada Anak

14 komentar
macam-macam parenting

“Kak Wulan babi!” pekik adik sepupu saya yang masih berusia tiga tahun.

Saya pikir ibunya akan marah. Sebaliknya, beliau hanya tertawa melihat tingkat anaknya. Beliau memaklumi sikap tidak sopan anaknya yang mungkin saja terpengaruh oleh kebiasaan anak tetangga yang suka berkata kasar.

Saya terkejut sekaligus marah. Namun, saya yang saat itu sudah berusia 17 tahun memilih bungkam lalu mengadu kepada Papa. Saya ceritakan sikap tidak sopan sepupu saya itu. Saya berkata pada ayah saya, “Waktu masih kecil, kalau aku ngomong kasar begitu, pasti Papa bakal nampar mulut aku. Kurang ajar! Kalau dia adikku, pasti sudah kutampar mulutnya.”

Papa hanya tertawa dan menasihati saya. “Itulah akibat selalu dimanja, jadi kurang ajar. Tapi kamu gak boleh keras sama dia. Nanti ibunya marah, terus ribut. Jadi repot. Mengalah saja. Kamu kan sudah dewasa. Malu ribut dengan anak kecil.”

Apakah Anda bisa menemukan kejanggalan di sini? Tepat sekali. Kejanggalannya terletak pada pola pikir saya dan Papa. Pola pikir kami sama, di mana menurut kami, pola asuh terbaik untuk mendisiplinkan anak adalah dengan kekerasan.

Kenapa pola pikir saya seperti itu? Pasti Anda sudah bisa menebaknya. Tentu saja karena saya dibesarkan dengan cara seperti itu, haha. Pola asuh seperti ini biasa disebut Tiger Parenting.

Apa itu Tiger Parenting?

Dilansir dari verywellfamily.com, tiger parenting adalah pola asuh  yang ketat dan berwibawa dengan tujuan untuk membesarkan anak yang berprestasi. Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh Amy Chua dalam bukunya yang berjudul “Battle Hymn of the Tiger Mom.”

Orang tua yang membesarkan anaknya dengan tiger parenting percaya bahwa pola asuh ini dapat mengantarkan anak mereka menuju kesuksesan di masa depan. Pola asuh ini membiasakan anak mereka untuk bekerja keras dari kecil sehingga membentuk karakter anak dengan work ethic yang kuat.

Karakteristik Tiger Parenting

Dilansir oleh halodoc.com, karakteristik tiger parenting adalah sebagai berikut:

1.       Terlalu Ketat

Orang tua akan mendorong anak untuk bekerja keras dan mengorbankan aktivitas yang tidak berhubungan dengan kesuksesan jangka panjang. Misalnya, anak tidak boleh main dan hanya boleh belajar saja di rumah.

2.       Harapan yang Tinggi

Orang tua yang menerapkan pola asuh ini memiliki harapan yang tinggi terhadap anak-anak mereka. Anak dituntut untuk bekerja keras untuk memenuhi harapan orang tua mereka, misalnya menang kejuaraan, masuk sekolah bergengsi, dan prestasi lainnya. Jika mereka gagal, maka mereka akan menerima hukuman.

3.       Pendekatan Berbasis Rasa Takut

Orang tua berperan sebagai pemegang otoritas. Anak harus menghormati orang tua, tidak boleh menjawab, membantah, atau mengecewakan harapan mereka. Jika anak melawan atau gagal, maka mereka akan dihukum dengan hukuman fisik maupun emosional. Bentuk hukumannya bisa dengan memukul, tidak memberi makan, membentak, dan meremehkan.

4.       Kurangnya Ruang untuk Anak

Anak dibesarkan di bawah kendali orang tua. Segala keputusan yang mereka ambil harus melalui persetujuan orang tua. Tidak ada penekanan pada pengaturan diri atau pemikiran mandiri.

Pengalaman Saya Dibesarkan dengan Tiger Parenting

Masih segar di ingatan saya bagaimana cara Papa mengajarkan saya baca, tulis, dan hitung sewaktu umur saya masih empat tahun. Papa akan mendiktekan lima huruf. Kemudian beliau menyuruh saya untuk mengulanginya. Setiap saya salah menyebutkan huruf, maka cubitan akan mendarat di paha saya.

Momen paling menegangkan itu saat saya belajar perkalian. Setiap pagi Papa akan menyuruh saya untuk menghapal perkalian. Kemudian setiap sehabis maghrib, Papa akan menguji hapalan saya. Biasanya saya selalu ada di posisi istirahat di tempat. Kenapa? Karena tangan di belakang punggung itu sibuk menjumlahkan angka, haha. Kalau salah, saya akan dicubit atau dijewer.

Duh, pokoknya saya pasti nangis deh kalau belajar sama Papa. Apalagi kalau saya melawan atau gak sengaja melakukan kesalahan sedikit saja. Minimal saya akan dijewer atau cubit. Paling maksimal saya akan dipukul dengan gantungan jemuran atau gagang sapu.

Mamanya kok diam saja? Mama saya bukan orang yang berpendidikan. Jadi beliau tidak tahu apakah yang Papa lakukan adalah yang terbaik atau tidak. Karena gak tega melihat saya dikasarin seperti itu, jadi beliau selalu menghindar setiap sesi pelajaran saya dimulai sampai selesai.

Dari usia 4 tahun sampai lulus SD, saya belajar setiap hari. Saya hanya boleh main di hari minggu, itu pun malamnya belajar lagi.

Kalau saya bicara kasar dan ketahuan Papa, pasti mulut saya ditampar. Itulah kenapa saya akan menampar adik saya jika dia bicara kasar seperti sepupu saya itu. Untungnya, saya tidak punya adik. Jadi tidak ada yang terluka di sini, haha.

Mempertahankan nilai adalah kewajiban mutlak bagi saya. Walaupun saya masih ranking satu, tapi kalau nilai saya turun, pasti Papa marah. Jadi meskipun saya selalu ranking satu, Papa dan Mama biasa saja. Tak ada apresiasi sama sekali.

Saya gak pernah diberi hadiah seperti teman-teman lain kalau ranking. Padahal mereka tidak pernah ranking satu seperti saya. Tapi mereka selalu mendapat hadiah untuk hal-hal kecil.

Saya kadang iri pada mereka dan menuntut pada orang tua saya. Namun, jawaban mereka selalu sama. Katanya mereka, “Nanti kalau sudah punya uang.” Namun, pada akhirnya tidak ada keinginan saya yang diwujudkan.

Apakah saya tantrum ketika tidak bisa mendapatkan apa yang saya mau? Tidak. Karena saya takut dibentak dan dipukul Papa.

Kalau tulisan saya jelek atau nilai saya turun, Papa saya pasti marah dan bilang, “Disekolahin bukannya makin pintar malah makin bego.”

macam-macam parenting




Dampak Positif Tiger Parenting

Lantas, bagaimana dampak tiger parenting? Untuk prestasi, lumayan. Bukannya bermaksud sombong, tapi saya selalu mendapat ranking satu seangkatan dari kelas satu SD sampai lulus. Nilai raport pelajaran selain olahraga dan seni budaya tidak pernah di bawah 90. Saya berhasil mengumpulkan 11 piala yang berhasil dibawa pulang ke rumah, 5 piagam, dan 1 medali emas.

Setiap jenjang sekolah, dari SMP sampai perkuliahan, saya cukup kompetitif. Alhamdulillah, saya masih berprestasi secara akademik dan nonakademik.

Karena hasil akademik dan nonakademik dari pola asuh orang tua saya cukup bagus. Saya pikir pola asuh inilah yang terbaik. Saya bertekad, jika saya nanti punya anak, saya akan mendidik anak saya seperti Papa mendidik saya.

Dampak Negatif Tiger Parenting

Dampak tiger parenting yang negatif baru sangat terasa ketika di perkuliahan. Saya tumbuh menjadi anak yang agresif dan kesulitan mengendalikan emosi. Ini membuat saya menjadi pribadi yang ringan tangan dan suka bicara tanpa filter. Persis sekali seperti Papa. Contohnya, ada teman saya yang tidak bisa mengerjakan soal yang materinya dibahas di kelas 11 padahal saat itu dia sudah kelas 12. Respon saya akan seperti ini, “Masa gitu aja gak bisa? Ini materi kelas 11 loh. Kok bisa naik kelas, sih? Nyogok ya?”

Jahat gak? Jahat banget. Sebab kalau itu terjadi pada saya, Papa saya pasti akan berkata begitu. Sayangnya, gak semua orang seperti saya, yang kalau diberi tamparan kasar oleh kata-kata kasar justru malah bangkit. Ada orang di luar sana, yang kalau ditampar kenyataan dengan kata-kata kasar, justru malah semakin terpuruk.

Karakter buruk saya ini sangat menyulitkan saya dalam berbaur di organisasi kampus. Teman saya bilang, karakter seperti ini tidak akan membuat saya sukses di dunia kerja. Karena saya harus sukses, jadi saya tidak punya pilihan selain mengubah karakter saya.

Mengubah karakter yang sudah terbentuk dari kecil itu sulitnya bukan main. Saya stres dan tertekan karena harus memendam emosi saya. Pada akhirnya, saya justru menyakiti diri saya sendiri hingga stress berat. Perkuliahan saya pun jadi terganggu karena kondisi saya ini.

Mengatasi Dampak Negatif Tiger Parenting

macam-macam parenting




Awalnya saya menyalahkan orang tua. Karena dampak dari tiger parenting yang mereka terapkan merusak mental saya. Ada beberapa tips yang pernah saya coba dan berhasil pada saya.

1.       Konsultasikan ke Profesional

Anda bisa mengunjungi psikolog atau psikiater. Namun jika masih pertama kali, Anda bisa ke psikolog dulu. Sebab, sependek pengetahuan saya, klien baru akan dirujuk ke psikolog jika sudah ada pada tahap yang membahayakan fisik dan gangguan kejiwaan.

Apakah saya langsung sembuh? Tentu saja tidak. Perlu tekad kuat dan usaha yang besar untuk sembuh. Satu sesi konsultasi belum cukup untuk menyembuhkan luka lama.

2.       Diam

Kapan pun emosi saya mulai membuncah, saya lebih memilih diam. Diam bukan hanya melamun ya, tetapi diam untuk bertanya sendiri pada diri saya. Apakah kata-kata kasar ini perlu dikatakan? Apakah saya perlu memukul orang ini? Apa dampak positif dan negatif dari tindakan saya? Minimal 10 detik diam dan berpikir. Untuk saya pribadi, ini sangat ampuh untuk meredam amarah saya.

3.       Journaling

Journaling atau yang biasa dikenal dengan menulis diary. Pokoknya setiap saya stres karena emosi saya membuncah dan bawaannya ingin menyakiti orang secara fisik atau psikis, saya akan diam dulu baru menulis diary. Saya tulis semua yang saya rasakan. Tulis saja dulu. Lampiaskan semua emosi.

4.       Jujur pada Diri Sendiri

Saat menulis jurnal, bacalah! Jangan malu. Di sini kita bisa merenung, sekiranya perlu atau tidak saya marah atau sedih karena suatu hal? Biasanya di tahap ini saya suka tertawa sendiri. Karena dengan ditulis, akhirnya saya bisa menguraikan benang kusut di kepada saya dan akhirnya bisa berpikir jernih untuk mengelola emosi saya.

5.       Terima Kenyataan dan Maafkan

Jujur saja belum cukup. Anda juga harus menerima kenyataan bahwa Anda memang jahat, bodoh, iri, tidak mampu, dan apapun alasan Anda marah atau sedih. Kalau Anda menolaknya, itu hanya membuat Anda lebih tersiksa. Maka, lebih baik terima kenyataan lalu pikirkan solusi untuk mengurangi bahkan menghilangkan hal buruk yang ada pada diri Anda supaya Anda menjadi orang yang lebih baik. Jangan lupa untuk maafkan masa lalu untuk mengurangi beban pikiran.

6.       Fokus pada Saat Ini

Fokus pada waktu yang kita miliki saat ini. Tidak perlu pikirkan apakah orang lain tahu kalau ada jerawat di wajah Anda atau apakah orang lain lebih kaya dari Anda. Just focus to fix yourself.

7.       Mendekatkan Diri pada Tuhan

Biasanya saya akan salat dan membaca Al Quran ketika emosi saya tidak terbendung lagi. Alhamdulillah, setelah itu emosi saya mereda dan bisa berpikir lebih jernih.

8.       Terus Cari Ilmu

Saya berusaha untuk menonton video tentang pengendalian emosi, penerimaan diri, dan buku self development. Salah satu yang saya rekomendasikan adalah Seni untuk Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson. Untuk channel youtube, Anda bisa mengunjungi channel Satu Persen.

Penutup

Tiger parenting memang berhasil membentuk karakter disiplin pada diri anak. Namun, taruhannya adalah mental anak. Jadi bagi para orang tua atau calon orang tua di luar sana, tolong, pelajari pola asuh dengan baik.

Jika Anda adalah anak yang diasuh dengan pola asuh ini, jangan menyerah ya! Tidak ada siapa pun yang bisa menolong kita selain diri kita sendiri. Seperti kata Pak Heru Jejak si Gundul, manusia adalah makhluk yang bisa berkembang tanpa batas. Jadi, percayalah bahwa Anda bisa berubah menjadi orang yang lebih baik dan itu semua butuh waktu. Jangan putus asa, ya! Anda jauh lebih hebat dari yang Anda kira.

 

 

Related Posts

14 komentar

  1. Cukup sedih membaca pengalaman Kak Winaya dengan masa kecilnya yang mengalami pola pengasuhan tiger parenting walaupun dampaknya bisa membuat berprestasi. Tapi sebagai anak yang dibesarkan dengan lemah lembut oleh orang tua, alhamdulillah saya pun bisa berprestasi selama sekolah.
    Tapi bersyukur dan salut melihat Kak Winaya yang bisa bangkit untuk menatap masa depan lebih baik. Semangat ya Kak

    BalasHapus
  2. Memang sebagai orang tua kita harus pandai.memolih pola asuh yang tepat buat anak-anak. Belum tentu bisa diterapkan pada semua anak karena sifat dan karakter yang berbeda beda. Makasiih kaa artikel parentingnya baguus banget.

    BalasHapus
  3. Aku baru tau ada Tiger Parenting dan itu kak Wina alami sendiri. Menurutku kak Wina keren bgt pengalaman di masa kecil mau dibagikan dan dijadikan pelajaran, jadi lebih bisa mengenal diri sendiri ya. Kalau macam aku dibilangin dengan kata kasar bukannya malah bangkit tapi malah terpuruk. Karena aku dibesarkan dengan lawannya dari Tiger Parenting ini. Apa yaa istilahnya 😅

    BalasHapus
  4. Terima kasih sudah mau berbagi kisah ini. Sepertinya kakak sudah mulai berdamai dengan diri sendiri ya karena ada banyak org yang mengalami trauma atau luka batin karena luka masa lalu. Aku pun juga punya walaupun sepertinya ga separah yg kakak alami
    Intinya memang harus mencoba memaafkan walaupun sulit utk melupakan. Org tua itu pada dasarnya ingin yang terbaik untuk anaknya hanya memang caranya yg salah. Jadi org tua memang berat, tuntutannya banyak sementara kita ga dibekali gmn cara menjadi org tua yg baik. Smg kita kelak ketika menjadi orang tua bisa belajar dari kesalahan masa lalu dan bisa menjadikan sosok orang tua yang lebih baik untuk anak-anak kita.

    BalasHapus
  5. Millenials dan Gen Z benef-bener berubah drastis beriringan dengan teknologi canggih dan serbacepat. Millenials pasti enggak jauh dari pola asuh Tiger Parenting. Akhirnya ya tumbuh jadi mental badak. Beda dengan sekarang mentalnya lebih agak menurun, tapi anak sekarang lebih kritis karena too much informasi dari internet. Sehingga memang perlu menyesuaikan pola asuh yang sekarang

    BalasHapus
  6. Walaupun gak pasti tapi besar kemungkinan Millenials itu pola asuhnya gak jauh-jauh dari Tiger Parenting. Jadi sebagai calon orang tua.. alarm banget case pengasuhan seperti ini... sedari sekarang memang harus banyak-banyak mempelajari pola asuh biar bisa jadi orang tua yang cerdas dan bijaksana kelak...

    BalasHapus
  7. Baru tahu istilah Tiger Parenting ini. dulu sepertinya saya pernah menerapkannya pada anak pertama. Tetapi seiring lahirnya 2 adiknya, pendidikan kepadanya nggak seketat dulu, entah karena saya yang kekurangan waktu atau karena saya yang paham bahwa setiap anak memiliki karakter yang tidak sama.

    BalasHapus
  8. Maa syaa Allah kak, kisahnya menyentuh dan bikin terharu. Semoga segera Allah pulihkan. Memang butuh waktu semangat yah kak dan jangan putus asa.

    BalasHapus
  9. Orang tua perlu membaca banyak referensi terkait dengan oengasuhan anak. Termasuk juga melalui abcaan atau tulidan seperti ini yang kudu banyak disebar agar makin banyak yang tahu informasi da edukasi ini

    BalasHapus
  10. catatan banget buat para ortu ya. Sering melihat ortu punya ekspektasi lebih ke anak, tapi respon anak sebaliknya.

    BalasHapus

  11. Akupun dibesarkan dengan pola yang sama, sepertinya orang tua dulu merasa ketika anak nurut dengan pola menakuti jd bikin mereka tenang, tapi kalau di aku jadinya lebih aktif dan ingin membuktikan diri terus diliar sih jadinya dan lebih keras secara sikap.

    Memang paling susah itu memeluk masa lalu ya mbak, peluk online untuk mbak yang sudah berjuang melewati setiap dampak negatif pola pengasuhan orang tua mbak.

    BalasHapus
  12. Anisa Alfi - pengalaman masa kecilnya bikin terharu. Apalagi dampaknya ternyata sampai dewasa. Semangat, kak.

    BalasHapus
  13. Dampak yang ditimpulkan karena pola asuh yang salah akan membekas dan terbawa hingga dewasa dan akan berlanjut hingga ke anaknya kelak. Oleh karena, jika ingin memutuskan pola pengasuhan yang salah dibutuhkan kesadaran dan usaha yang lebih besar, tetapi bisa dilakukan

    BalasHapus
  14. Tiger parenting ini sepertinya yang paling mudah diaplikasikan ya namun ternyata efeknya tidak baik untuk anak.

    BalasHapus

Posting Komentar